Minggu, 11 Mei 2014

Karya di Balik Trauma: IGAK Murniasih





Bibirnya menyunggingkan senyum yang lebar dan bahagia, matanya mengerling jenaka, dan sepasang alis tebal bak ulat bulu bewarna hitam, bertengger santai di keningnya. Siapa sangka, wajah itu menyimpan trauma?

I Gusti Ayu Kadek Murniasih namanya. Beliau merupakan salah satu pelukis perempuan ternama di Indonesia, bahkan banyak karyanya sudah melanglang buana hingga mancanegara. Beliau mengangkat masalah gender dan seks sebagai subjeknya dalam berkarya. Melalui karyanya, Murni tak sekedar bercerita tentang seks saja, lebih dari itu, beliau berbicara tentang hidup melalui simbol-simbol yang dapat diinterpretasikan sebagai genital manusia dalam bentuk yang menarik dan jenaka.

Lahir pada tanggal 21 Mei 1966 di Tabanan, Bali (sumber lain mengatakan beliau lahir di Jembrana pada 4 Juli 1966) dari keluarga kalangan menengah bawah. Murni—begitu beliau akrab disapa—sejak kecil telah hidup dalam penderitaan dan kemiskinan. Orangtuanya adalah petani yang kemudian menjual sawahnya dan memutuskan untuk bertransmigrasi ke pedalaman Sulawesi. Di sana, beliau membantu perekonomian keluarga dengan bekerja di sebuah keluarga Cina yang menyekolahkannya hingga kelas 2 SMP. Kemudian, bersama keluarga tersebut, beliau pindah ke Jakarta dan diajak bekerja di garmen sebagai tukang jahit. Tak betah di Jakarta, Murni akhirnya memutuskan untuk kembali ke Bali dan menjadi pengrajin perak di sana.

Murni kemudian bertemu dengan seorang lelaki dari Payangan, Gianyar yang mengajaknya menikah. Namun, pernikahan tersebut kandas karena Murni tak mampu menghasilkan keturunan dan lelaki tersebut ingin menikah lagi.

Setelah perceraian yang menimbulkan luka tersebut, Murni memutuskan untuk belajar melukis gaya Pengosekan di Ubud sambil bekerja. Murni kemudian belajar pada Dewa Putu Mokoh, seorang pelukis Pengosekan yang sering mengangkat tema-tema yang berbau cabul dan porno dalam tutur visual yang jenaka. Dari Mokoh-lah, Murni akhirnya menemukan gaya lukis yang mampu menjadi terapi bagi derita batin yang dipendamnya. Kanvas pun menjadi media ekspresi jiwa dan obat yang mumpuni bagi traumanya.


Karya-Karya IGAK Murniasih

Karya-karya Murni merupakan ekspresi diri dan penggambaran emosi dari pengalaman individualnya tentang seks. Kebanyakan lukisannya merupakan ungkapan emosi yang jujur atas pengalaman getir yang dialaminya sejak kecil. Bagaimana kekerasan seksual yang beliau alami yang dilakukan oleh ayahnya sendiri, seorang lelaki yang harusnya menjadi sosok pelindung tapi malah menodai darah daging sendiri.

Selain itu Murni bercerita pula tentang pernikahannya. Beberapa lukisannya mengungkapkan tentang keinginan kuatnya untuk memiliki anak sebagai seorang perempuan. Termasuk stigma bahwa perempuan yang utuh dan ideal adalah perempuan yang hamil dan melahirkan, di mana beliau tak memiliki kemampuan untuk itu.

Dari karya-karyanya, Murni mengajak masyarakat untuk mengakui bahwa kekerasan seksual dan nilai serta norma yang ada di masyarakat yang menyudutkan perempuan itu selalu ada meski berusaha ditutup-tutupi. Norma dan nilai seringnya menimbulkan tabu yang membatasi diri kaum perempuan dalam mengungkapkan hal tersebut sehingga hanya mampu menjadi luka batin dan trauma yang berusaha dipendam namun bisa menjadi hantu yang paling mengerikan seumur hidup.


Digembok (Karya Murniasih)

Dalam perjalanan hidupnya yang begitu berliku, pada akhirnya Murni menemukan kebahagiaan bersama Mondo—seorang pelukis Italia yang mencintai Murni dengan segenap jiwanya. Mereka tinggal di sebuah tengah tegalan di Pengosekan yang dikontrak Mondo dan membangun studio bambu sederhana, tidak jauh dari studio Mondo. Mondo adalah kekasih sekaligus guru yang banyak mengajari Murni teknik melukis dan komposisi ala Barat.

I Gusti Ayu Kadek Murniasih akhirnya tutup usia pada 11 Januari 2006 karena kanker rahim. Beliau wafat padausia yang belum juga mencapai angka 40Dunia seni kontemporer Indonesia lagi-lagi kehilangan seorang perupa perempuan yang berbakat dan potensial, yang mampu dengan tegar mengungkap mimpi buruk dan penderitaan-penderitaannya secara jujur dan polos tanpa pretensi, yang berhasil mengatasi kegetiran dengan menikmati setiap bagian tubuhnya dengan berterus terang. 

Apa yang dapat dipetik dari Murni adalah, tiap manusia menyimpan penderitaan dan trauma masing-masing. Meski kita tak dapat lepas dari bayang-bayang mengerikan namun kita masih bisa memilih apakah ingin terus terjerumus dalam bayang-bayang itu atau mengolahnya menjadi sesuatu yang positif. Misalnya, dalam bentuk karya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar