Senin, 24 Februari 2014



Ragam warna senja menghias langit seusai hujan. Mau tak mau, samudera harus rela membagi biru airnya dengan pantulan warna sang senja. Gelombangnya yang tenang dan kalem, mengayunkan perahu kecilku dengan teratur dan berirama, berkolaborasi dengan semilir angin dan asinnya aroma laut, menciptakan rasa nyaman yang tak terkatakan. Aku berbaring menatap jutaan warna senja yang awalnya jingga kini mulai bermetamorfosa perlahan menjadi merah muda dengan sedikit sentuhan violet, mengiringi matahari berputar ke arah barat. Semuanya terlalu indah untuk dideskripsikan melalui kata-kata.

Warna senja berganti nila dan perlahan menggelap. Aku beranjak duduk dan mulai merasa gelisah dan takut. Bagaimana ini bermula aku pun lupa. Tahu-tahu aku sudah di tengah samudera antah-berantah. Sendirian dan tanpa arah.

Bagaimana jika tiba-tiba ada badai? Bagaimana jika tiba-tiba perahuku oleng? Bagaimana jika aku tenggelam? Bagaimana jika begini? Bagaimana jika begitu?

Seribu pertanyaan yang dimulai dengan Bagaimana jika melintas di benakku, makin membuatku takut. Aku tersesat di tengah samudera sendirian. Hanya ada aku dan perahuku.

Lalu, sebuah cahaya datang entah dari mana. Cahaya remang dari kejauhan yang begerak melewati perahuku kemudian menyusuri sudut gelombang yang lain, dan kembali melewati perahuku. Cahaya mercusuar.

Mataku memicing, mencari-cari mercusuar sang sumber cahaya. Samar-samar kulihat menara tinggi dengan puncak yang berputar dan memancarkan cahaya ke segala penjuru samudera, menuntun perahuku yang tersesat di kegelapan menuju daratan.

Aku begitu bahagia melihat mercusuar kokoh itu. Perahuku bergerak mendekat. Kini, bisa kulihat dengan jelas mercusuar yang kuanggap indah itu. Aku merasa sebentar lagi akan tiba di rumah.

Namun perasaan itu datang sebentar saja saat getaran hebat menyapu lenyap segala kebahagiaan dan kelegaanku.




Dan tiba-tiba mercusuar itu runtuh.
Dinding-dindingnya yang kokoh perlahan meluruh. 
Aku jatuh.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar