Bibirnya menyunggingkan senyum yang lebar dan
bahagia, matanya mengerling jenaka, dan sepasang alis tebal bak ulat bulu bewarna
hitam, bertengger santai di keningnya. Siapa sangka, wajah itu menyimpan trauma?
I Gusti Ayu Kadek Murniasih namanya. Beliau
merupakan salah satu pelukis perempuan ternama di Indonesia, bahkan banyak
karyanya sudah melanglang buana hingga mancanegara. Beliau mengangkat masalah
gender dan seks sebagai subjeknya dalam berkarya. Melalui karyanya, Murni tak
sekedar bercerita tentang seks saja, lebih dari itu, beliau berbicara tentang
hidup melalui simbol-simbol yang dapat diinterpretasikan sebagai genital
manusia dalam bentuk yang menarik dan jenaka.
Lahir pada tanggal 21 Mei 1966 di Tabanan,
Bali (sumber lain mengatakan beliau lahir di Jembrana pada 4 Juli 1966) dari
keluarga kalangan menengah bawah. Murni—begitu beliau akrab disapa—sejak kecil
telah hidup dalam penderitaan dan kemiskinan. Orangtuanya adalah petani yang
kemudian menjual sawahnya dan memutuskan untuk bertransmigrasi ke pedalaman
Sulawesi. Di sana, beliau membantu perekonomian keluarga dengan bekerja di
sebuah keluarga Cina yang menyekolahkannya hingga kelas 2 SMP. Kemudian,
bersama keluarga tersebut, beliau pindah ke Jakarta dan diajak bekerja di
garmen sebagai tukang jahit. Tak betah di Jakarta, Murni akhirnya memutuskan
untuk kembali ke Bali dan menjadi pengrajin perak di sana.
Murni kemudian bertemu dengan seorang lelaki
dari Payangan, Gianyar yang mengajaknya menikah. Namun, pernikahan tersebut
kandas karena Murni tak mampu menghasilkan keturunan dan lelaki tersebut ingin
menikah lagi.
Setelah perceraian yang menimbulkan luka
tersebut, Murni memutuskan untuk belajar melukis gaya Pengosekan di Ubud sambil
bekerja. Murni kemudian belajar pada Dewa Putu Mokoh, seorang pelukis
Pengosekan yang sering mengangkat tema-tema yang berbau cabul dan porno dalam
tutur visual yang jenaka. Dari Mokoh-lah, Murni akhirnya menemukan gaya lukis
yang mampu menjadi terapi bagi derita batin yang dipendamnya. Kanvas pun
menjadi media ekspresi jiwa dan obat yang mumpuni bagi traumanya.
![]() |
Karya-Karya IGAK Murniasih |
Karya-karya Murni merupakan ekspresi diri dan
penggambaran emosi dari pengalaman individualnya tentang seks. Kebanyakan
lukisannya merupakan ungkapan emosi yang jujur atas pengalaman getir yang
dialaminya sejak kecil. Bagaimana kekerasan seksual yang beliau alami yang
dilakukan oleh ayahnya sendiri, seorang lelaki yang harusnya menjadi sosok
pelindung tapi malah menodai darah daging sendiri.
Selain itu Murni bercerita pula tentang
pernikahannya. Beberapa lukisannya mengungkapkan tentang keinginan kuatnya
untuk memiliki anak sebagai seorang perempuan. Termasuk stigma bahwa perempuan
yang utuh dan ideal adalah perempuan yang hamil dan melahirkan, di mana beliau
tak memiliki kemampuan untuk itu.
Dari karya-karyanya, Murni mengajak
masyarakat untuk mengakui bahwa kekerasan seksual dan nilai serta norma yang
ada di masyarakat yang menyudutkan perempuan itu selalu ada meski berusaha ditutup-tutupi.
Norma dan nilai seringnya menimbulkan tabu yang membatasi diri kaum perempuan
dalam mengungkapkan hal tersebut sehingga hanya mampu menjadi luka batin dan
trauma yang berusaha dipendam namun bisa menjadi hantu yang paling mengerikan
seumur hidup.
![]() |
Digembok (Karya Murniasih) |
Dalam perjalanan hidupnya yang begitu
berliku, pada akhirnya Murni menemukan kebahagiaan bersama Mondo—seorang pelukis Italia yang mencintai Murni dengan segenap jiwanya. Mereka tinggal di sebuah tengah
tegalan di Pengosekan yang dikontrak Mondo dan membangun studio bambu
sederhana, tidak jauh dari studio Mondo. Mondo adalah kekasih sekaligus guru
yang banyak mengajari Murni teknik melukis dan komposisi ala Barat.
I Gusti Ayu Kadek Murniasih akhirnya tutup
usia pada 11 Januari 2006 karena kanker rahim. Beliau wafat padausia yang belum juga mencapai angka 40. Dunia seni kontemporer Indonesia lagi-lagi kehilangan seorang
perupa perempuan yang berbakat dan potensial, yang mampu dengan tegar
mengungkap mimpi buruk dan penderitaan-penderitaannya secara jujur dan polos tanpa
pretensi, yang berhasil mengatasi kegetiran dengan menikmati setiap bagian tubuhnya
dengan berterus terang.
Apa yang dapat dipetik dari Murni adalah,
tiap manusia menyimpan penderitaan dan trauma masing-masing. Meski kita tak
dapat lepas dari bayang-bayang mengerikan namun kita masih bisa memilih apakah
ingin terus terjerumus dalam bayang-bayang itu atau mengolahnya menjadi sesuatu
yang positif. Misalnya, dalam bentuk karya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar