Shirin
Neshat merupakan salah satu perupa perempuan Islam yang mengangkat masalah
gender, politik, dan agama dalam dunia Muslim sebagai subjek dalam berkarya. Melalui
karyanya, Shirin Neshat banyak bercerita tentang kehidupan perempuan Islam Iran
yang terpengaruh dogma-dogma budaya dan nilai yang mengatasnamakan agama, serta
konflik politik dalam dunia Islam. Kepindahannya ke New York untuk menempuh
pendidikan mengubah hidupnya.
Shirin Neshat lahir pada tanggal
26 Maret 1957 di Qazvin, sebuah daerah dengan nuansa relijius yang kuat,
terletak di sebelah barat laut Iran. Beliau merupakan anak keempat dari lima
bersaudara dan berasal dari keluarga kalangan menengah ke atas. Ayahnya
termasuk lelaki yang berpikiran maju pada saat itu. Saat di mana orangtua
lainnya di Iran menetapkan aturan yang ketat kepada anak-anak perempuannya
sesuai dengan dogma budaya dan agama yang ada pada saat itu, ayah Shirin Neshat
justru mendorongnya untuk menjadi individu yang mandiri, mengambil resiko,
terus belajar, dan melihat dunia.
Kehidupannya mulai berubah
drastis saat beliau dikirim ke sekolah Katolik di Teheran. Beliau harus
menjalani kehidupan yang sangat berbeda, dari kehidupan keluarga yang hangat
dan kental dengan nilai-nilai Islam menjadi kehidupan akademis yang penuh
dengan aturan dan nilai-nilai Katolik. Keterkejutan Shirin akan perubahan
drastis yang harus beliau alami membuatnya depresi hingga menderita anoreksia.
Pada periode tahun 1960-an
hingga awal 1970-an, pendidikan Barat menjadi populer di kalangan keluarga
menengah atas Iran. Banyak orangtua dari kalangan tersebut mengirimkan putra
mereka ke luar negeri untuk mendapatkan pendidikan Barat. Begitu pula keluarga
Shirin Neshat. Namun, yang membedakan keluarga Shirin dengan keluarga lainnya,
yang dikirim tak hanya putra-putranya saja. Putri-putri mereka, termasuk Shirin
turut dikirim ke luar negeri untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi.
Shirin menyelesaikan studinya di
jurusan Seni hingga mendapat gelar BA, MA, dan MFA di University of California,
Berkeley. Kehidupannya di dunia Barat, membuat pikirannya semakin terbuka dan
wawasannya semakin berkembang.
PERJALANAN
SHIRIN NESHAT DALAM BERKARYA
Setelah menyelesaikan studinya,
Shirin Neshat tidak serta merta produktif berkarya. Pada awal-awal pasca
kelulusannya dari Berkeley, beliau merasa ide-idenya tidak cukup kuat dan beliau
tidak siap untuk menghasilkan karya seni. Beliau juga merasa tidak cukup
terilhami oleh sejarah seni yang telah dipelajarinya.
Shirin
Neshat pun memutuskan untuk pindah ke New York. Namun, beliau semakin
terintimidasi oleh karya-karya seni kontemporer yang ada di sana dan semakin
menyadari bahwa dirinya belum cukup dewasa dan bergairah untuk berkarya. Yang
Shirin lakukan selanjutnya adalah bekerja di sebuah institusi seni bernama The Storefront
for Art and Architecture yang didirikan oleh mantan suaminya, Kyong Park. Beliau
bekerja sebagai administrator sambil membantu dalam program kuratorial. The
Storefront merupakan organisasi non-profit yang didedikasikan untuk
menyampaikan program seni dan arsitektur dengan mengumpulkan orang-orang yang
memiliki latar belakang arsitek, baik secara teoritis maupun praktis. Dengan
bergabungnya Shirin ke dalam organisasi ini, beliau bertemu dengan orang-orang dari
berbagai bidang, seperti seniman, arsitek, filsuf, budayawan, bahkan terkadang
ilmuwan, yang berpengaruh besar terhadap perkembangan pemikiran-pemikiran
Shirin.
Yang
menjadi titik balik Shirin dalam bidang seni adalah saat beliau memutuskan
untuk kembali ke Iran pada tahun 1990 setelah 12 tahun kepergiannya. Perjalanan
tersebut hingga perjalanan-perjalanan selanjutnya membuatnya fokus pada
artistik, terutama pada Revolusi Islam dan peran perempuan dalam revolusi
tersebut. Hal itu membuatnya sadar bahwa beliau menemukan subyek yang
membuatnya bergairah untuk berkarya. Hingga akhirnya ia membuat karya
pertamanya pada tahun 1993-1997 yang berjudul “Women of Allah”. Karya ini merupakan karya fotografi yang
mengangkat tema tentang revolusi dan konsep tentang ‘syahid’.
|


Karya seni berupa fotografi ini
memiliki visual yang sederhana. Beberapa elemen dimunculkan berulang kali: tubuh perempuan, topik yang banyak
mengundang masalah dalam budaya Islam karena mengimplementasikan aib, dosa, dan
seksualitas; teks kaligrafi, yang
memuat puisi dari penulis perempuan Iran; senjata
api, sebagai lambang kekerasan; dan kerudung
atau cadar, yang begitu kontroversial, dianggap sebagai lambang penindasan
sekaligus pembebasan—perlawanan terhadap pengaruh Barat.
Karya ini terinspirasi oleh
Revolusi Islam di Iran. Sebelum revolusi, kepemimpinan Shah mencoba untuk
mempromosikan budaya sekuler. Bahkan, hijab tidak disukai dan cenderung
dilarang dalam periode ini, periode di mana Shirin tumbuh sebagai remaja di
Iran. Namun, jilbab mulai dikenakan secara meluas oleh perempuan, bukan hanya sebagai
simbol ketaatan menjalankan agama, namun juga menjadi simbol politik perlawanan
terhadap pemerintahan Shah dan sebuah bentuk pemberdayaan.
Semua foto dalam karya ‘Women of
Allah’ ini berkutat pada tema seputar keterpaksaan, batasan, perempuan muslim
kuno, dan kekerasan. Shirin menggunakan fotografi untuk menyampaikan pada
audiensnya bahwa mereka memang melihat realitas tertentu. Bahwa tiap perempuan
Islam Iran berada pada citra yang negatif. Dalam Islam, tubuh perempuan secara
historis menjadi sarana pertempuran untuk berbagai macam ideologi dan retorika
politik. Sebuah identitas dan budaya yang dapat dipahami melalui status dan
keadaan perempuan, seperti peran yang mereka mainkan dalam masyarakat, hak-hak
mereka yang dapat dinikmati atau tidak, dan kode etik berpakaian yang harus
mereka patuhi.
Melalui karya ini, Shirin
mengeksplorasi pengalaman seorang perempuan Islam. Beliau mengungkapkannya
melalui kata-kata perempuan yang telah hidup dan mengalami kehidupan di balik
hijab. Kata-kata yang ditulis pada kulit perempuan, menunjukkan suara harfiah
dan simbolis dari wanita yang seksualitas dan individualisme telah lenyap di
depan publik oleh jilbab.
Karya ini menceritakan kehidupan
pribadi dan publik perempuan yang hidup di bawah komitmen keagamaan yang
ekstrim. Puisi yang tertuang dalam foto-foto ini merupakan hasil karya Tahereh
Saffarzadeh: penyair dan penulis Iran, serta penerjemah sekaligus professor dari
universitas terkemuka di Iran. Taherah mengungkapkan keyakinan kuat yang
dimiliki perempuan-perempuan Iran akan Islam. Menurut perempuan Iran yang
terlibat dalam revolusi Islam, hanya dalam konteks Islam seorang perempuan bisa
setara dengan laki-laki. Dengan menyembunyikan seksualitasnya sebagai
perempuan, jilbab mencegahnya menjadi objek seksual.
Terdapat banyak kontradiksi
pribadi pada perempuan yang kuat dan bangga akan partisipasinya dalam proses
revolusioner, bersedia untuk berperang dengan senapan di punggung mereka, namun
masih menanggung hukum-hukum agama yang membuat kendala bagi kehidupan mereka.
Pendekatan Shirin menciptakan dialog konseptual yang secara visual
mengidentifikasi dan mengeksplorasi beberapa karakterisasi negatif dan
stereotip muslim, terutama perempuan muslim. Serta bagaimana konteks iman ini
mendukung mereka atau malah menghambaat mereka.
Karya Neshat berusaha
mengeksplorasi dua pandangan yang berbeda, satu dari sisi Barat yang cenderung
liberal, satu sisi dari perempuan Iran itu sendiri. Masyarakat Barat cenderung
menangkap karya seni ini menunjukkan perempuan sebagai objek yang dikungkung
dogma dan diperalat sebagai upaya politik menggulingkan kepemimpinan Shah yang
sekuler. Sedangkan perempuan Iran menganggap hal itu adalah sebuah pilihan
untuk menunjukkan kesetaraan dan membela kebenaran serta iman.
Setelah mengeluarkan “Women of Allah” yang merupakan karya
seni perdananya, Shirin mulai produkif berkarya. Tak jauh beda dengan karya
pertamanya, beliau selanjutnya tetap mengangkat perempuan Islam sebagai subjeknya
dalam berkarya seni. Kebanyakan karya seninya berupa video dan instalasi serta
multimedia performance.
![]() |
TURBULENT (1998) |
Ini
juga dapat dianalogikan sebagai aql’
dan nafs’ di mana lelaki sebagai
makhluk yang rasional berperan sebagai aql’ atau akal, sedangkan perempuan yang
lekat dengan keindahan dan perasaan berperan sebagai nafsu yang bisa sangat
menyentuh dan memotivasi untuk kebaikan atau malah sebaliknya jika tidak
dikontrol akan membahayakan.
Di
satu sisi, video ini juga bisa menimbulkan interpretasi yang lain. Lelaki dalam
bermasyarakat lebih objektif dan mengikuti aturan serta pandangan orang-orang
sedangkan perempuan lebih mengikuti kata hati dan merasa bebas dan lepas dari
kungkungan saat mengikuti kata hatinya tersebut. Lelaki lebih ingin ‘dipandang’
atau mengejar kekuasaan sementara perempuan mengejar kebebasan.
Karya
Shirin yang lain adalah “Rapture” , memiliki
dasar konsep yang sama dengan “Turbulent”
yang mengangkat tentang perbedaan baik secara visual maupun konseptual.
Pada
karya-karya selanjutnya, Shirin masih tetap mengangkat tema perbedaan lelaki
dan perempuan dalam tatanan sosial masyarakat Muslim, kebanyakan dalam bentuk
video dan film pendek. Ada juga karyanya berupa film panjang yang diangkat dari
novel karya Shahrnush Parsipur berjudul “Women
Without Men”.
Beberapa
karyanya yang lain yaitu “Soliloquy”,
“Fervor”, “Passage”, “Logic of the
Birds”, “Tooba”, “Mahdokht”, “Zarin”, “Munis”, “Faezeh”, dan “Possession”.
Dari
semua karyanya, dapat disimpulkan Shirin Neshat ini memiliki karakteristik yang
berbeda dibandingkan para seniman perempuan feminis lainnya yang juga
mengangkat subjek kesetaraan gender
dalam berkarya. Selain karena membuka perspektif baru pada dunia mengenai Islam
dan perempuan, di beberapa karyanya Shirin cenderung lebih objektif dalam
menampilkan karya seni yang feminis dengan memperlihatkan perbedaan perspektif
tentang perempuan tanpa berat sebelah,
ketimbang para seniman perempuan
beraliran feminis yang cenderung egosentris dan mengekspresikan diri atau
berkarya dalam perspektif perempuan saja. Pesan yang dapat ditangkap dalam beberapa
karya Shirin adalah bahwa meski sesungguhnya perempuan dan lelaki itu dipandang
sama oleh Tuhan dan agama, lelaki dan perempuan memiliki banyak perbedaan dan
kekurangan masing-masing. Perbedaan itu bukan untuk diperdebatkan atau
dipermasalahkan, melainkan digunakan untuk menutupi kekurangan satu sama lain.
selamat pagi kak zilfany, saya mohon izin mengambil postingan ini untuk tugas, apa kak zil bisa mmberikan informasi sumber tulisan ini? terimakasih..
BalasHapusSilakan, Devy.
BalasHapusTulisan ini adalah hasil kesimpulan saya sendiri yang dilansir dari berbagai sumber, kebanyakan saya ambil dari http://www.feministstudies.org/_img/art_gallery/0499697.0030.306.pdf
Terima kasih!