Jumat, 27 September 2013

Pengingat Mimpi

Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih selembut dahulu
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap
Sambil membenarkan letak leher kemejaku
Kabut tipis pun turun pelan pelan di Lembah Kasih
Lembah Mandalawangi
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin
Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
Ketika kudekap
Kau dekaplah lebih mesra
Lebih dekat
Apakah kau masih akan berkata
Kudengar detak jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta

Cahaya Bulan-Soe Hok Gie

Malam ini saya teringat kembali, pertemuan pertama saya dengan Soe Hok Gie. Saat itu enam tahun yang lalu, dimana saya masih berseragam putih biru. Soe Hok Gie dalam wujud Nicholas Saputra begitu menyentuh dan menginspirasi saat itu. Semangatnya untuk reformasi, pemikirannya yang kritis, serta pribadi yang begitu puitis membuatnya menjadi idola saya. Bahkan ketika itu saya bercita-cita untuk menjadi seperti dia saat mahasiswa.

Dan kini, cita-cita itu ternyata hanya sekedar wacana. Dua tahun sudah saya menyandang predikat mahasiswa, tak satupun terlaksana. Saya belum berkarya apa-apa untuk bangsa, bahkan karya yang bermanfaat bagi saya sendiri pun belum ada. Cita-cita seperti tergerus realita, mahasiswa dalam benak saya enam tahun lalu, dengan kehidupan mahasiswa yang saya jalani begitu berbeda. 

Ternyata menjadi mahasiswa serumit ini.
Untuk saya yang lamban beradaptasi. 
Untuk saya yang pikiran dan sikapnya tidak terkoneksi.

Pikiran saya berlari cepat sedangkan kemampuan bersikap saya tertinggal di belakang, membuat saya merasa saya adalah orang yang 'tong kosong nyaring bunyinya', banyak bicara tapi miskin karya. Saya merasa malu dan menjadi sok tahu.

Hingga cita-cita itu mulai sedikit terlupakan, ditelan kesibukan mengejar ketertinggalan.

Saya menjadi pasif.
Kemudian apatis.
Terlalu realistis kalau tidak mau dibilang pesimis.

Namun, pertemuan minggu lalu menampar saya. Sebuah tugas esai memaksa saya menggali cita-cita itu kembali. Sebenarnya bukan tentang Gie, namun tentang bagaimana saya dulu ingin menjadi seorang Habibie. Mengharumkan nama bangsa dengan karyanya. 

Hal itu mulai menghantui saya, menimbulkan rasa gelisah yang semakin membuncah kala tak sengaja mengintip profile facebook senior saya. Juga hari ini makin menjadi. Saat berkunjung ke agensi kemudian mendapat pencerahan mengenai kampanye sosial.

Bagaimana merubah perilaku seseorang menjadi lebih baik, dapat dilakukan dari hal-hal kecil di sekitar kita. Klise, namun sering saya lupakan. 
Dan yang paling penting: INISIATIF. 
Mungkin saya akan mulai dari itu untuk kembali mengejar mimpi lama saya.


Setelah apa yang terjadi hari ini, saya rindu Gie. 

Terimakasih untuk hari ini.



Dan untuk kamu, pengingat mimpi.