Selasa, 03 Juni 2014

Minggu, 01 Juni 2014

Hidup Sendiri ≠ Mandiri


Dan di sinilah saya.

Menyempil sendiri di tengah keramaian salah satu restoran cepat saji di pusat ibukota, Jakarta.
Tengah menghitung menit demi menit, jam demi jam, menuju Senin, menunggu pengalaman pertama bernama simulasi dunia kerja di dunia nyata.
Menunggu di mana ilmu tak lagi sekedar teori belaka atau sekedar kata-kata dalam buku panduan kuliah saja. 
Kepala dipenuhi tanya, sedang hati campur aduk dengan berbagai macam rasa.

Pengalaman pertama memang selalu menimbulkan euforia dengan rasa penasaran di dalamnya.

Seperti tiga tahun lalu, saat pertama kalinya menjadi mahasiswa dan jauh dari orangtua.
Bagi saya yang seorang penyendiri dan selalu ingin menjadi mandiri, pengalaman pertama ini adalah sesuatu yang sangat dinanti-nanti.
Dan sekarang, saya tiba di titik ini lagi.

Lalu, setelah 3 tahun merasakan hidup sendiri apakah lantas membuat saya menjadi mandiri

Selama ini saya pikir begitu
Hingga proses menuju 'pengalaman pertama' ini menyadarkan saya bahwa menjadi mandiri tak cukup dengan hidup sendiri, bahwa menjadi mandiri bukan sekedar jauh dari orangtua saja.

Mandiri berarti tahu bagaimana mengambil keputusan tepat sendiri.

Tahu bagaimana bersikap, bagaimana menghadapi masalah dan mencari solusi tanpa perlu disetir-setir orang lain lagi.

Semua orang bisa melakukan apa-apa sendiri, memutuskan sesuatu dan menghadapi masalah yang dihadapi dengan caranya masing-masing tanpa ada perlu campur tangan orang lain.

Tapi, apakah sikap dan keputusan yang diambilnya sendiri itu sudah tepat dan bijak?

Akhirnya saya pun tiba pada kesimpulan:

Mandiri bukan tentang bisa melakukan segala sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain.
Mandiri adalah tentang mengambil keputusan yang tepat dan bersikap bijak dalam menghadapi segala sesuatu sendiri.

Jadi, apakah kita sudah benar-benar menjadi mandiri?