Senin, 27 Januari 2014



Maybe there's no connection again between us.
Maybe we're tired at each other.


Kepada Cinta Pertama, Selamat Berkepala Dua.

Sudah lama sekali,ya? Sejak kita pertama kali berjumpa.
Kira-kira tujuh tahun lalu. Mungkin kamu sudah lupa.
Saat itu, kamu baru saja pindah ke kelas saya, tepat setelah jam pelajaran olahraga.
Saya masuk ke kelas seperti biasa, lalu tiba-tiba menyadari ada yang berbeda.
Oh, ada orang baru rupanya. Kemudian, mata kita tak sengaja bertemu.
Kamu tersenyum penuh makna, saya salah tingkah.
Dan, dunia saya seketika berubah.

Kata teman-teman, wajah kita mirip. Mungkin berjodoh.
Aku hanya tertawa.
Kemudian, kamu perlahan menjadi sahabat saya.
Meski kita jarang sekali membahas hal-hal yang dalam.
Seringnya malah membahas hal-hal yang bodoh dan tidak masuk akal.
Tapi tetap saja saya bahagia.

Kita pernah punya mimpi yang sama.
Ingatkah kamu?
Kala itu langit seusai shubuh bersemu merah jambu.
Kita tidak melanjutkan ke sekolah yang sama, hingga saya bertanya akan kuliah di mana nantinya?
Lalu kamu berkata, ingin masuk ITB. Saya juga.
Kalau begitu kita harus mencari kost di tempat yang berdekatan, agar bisa berangkat kuliah sama-sama, usul saya.
Dia mengaminkan.
Namun Tuhan punya rencana lain, jalan kita berbeda.
Saya berhasil melanjutkan kuliah di Institut impian kita, kamu di Institut kota tetangga.
Dan kita semakin jarang berkomunikasi apalagi berjumpa.

Kamu tahu, hingga sekarang saya masih mengingat cerita-cerita absurd kita.
Meski kita tidak pernah benar-benar bersama.
Hadiah ulang tahun saya yang ke-empat belas dari kamu pun masih ada.
Dan banyak cerita-cerita lainnya.

Saat itu perasaan kita sama.
Namun, entah kenapa kita tidak bisa lebih dari sekedar sahabat.
Meski berkali-kali kamu memberi tanda.
Mungkin memang bukan jalannya.

Hingga, sekarang tanpa sadar kita sudah dewasa.
Semuanya sekarang sudah benar-benar berbeda.
Termasuk perasaan kita, sudah berubah. Sudah biasa saja.
Kamu yang sekarang bukan kamu yang dulu, yang saya kenal sebagai cinta pertama.
Kamu yang sekarang adalah seorang teman baik saya.
Meski begitu cerita kita akan selalu tersimpan rapi dalam kepala.

Saya terlalu banyak bicara, ya?
Kalau begitu, selamat berkepala dua!
Semoga kamu senantiasa berbahagia :)


*Untuk Good dari Funny*




Sabtu, 25 Januari 2014


"The skies as clear as your eyes. Let's have a date, in Saturn's ring."
"Saturn's ring?"
"Yes, so there's no one can bother us. It's very quiet and peaceful out there. You know, it was made from billions pieces of ice."
"We could freeze to death. Or we die out of oxygen."
"No, we wouldn't. We would clung at each other till our love gives us warmth. And, you could be my oxygen. I would be yours."


*Tetiba melintas benak, saat sedang memandangi langit Bandung yang cerah malam ini*

Jumat, 24 Januari 2014

Ada ketakutan yang menghantui saya, tiap kali kamu berkata, 'sampai jumpa.'
Ada sedikit retak di sudut hati, tiap kali punggungmu berbalik pergi.

Ya, saya memang serapuh itu.
Apalagi segala sesuatu yang menyangkut kamu.

Dan hadirmu, adalah satu-satunya penyembuh.

Jadi, jangan lupa untuk kembali, ya?






Rabu, 22 Januari 2014

Bagaimana Inos Menggambar Saya

Saya punya kawan, satu dari sebagian kawan yang cocok berbagi cerita dengan saya.
Inos namanya.
Dia sedang menggandrungi menggambar dengan gaya kubisme.
Dan saya pun digambarnya.

Makasih, ya.

*Digambar saat dosen asyik memberi kuliah*



Membentuk Citra

Katanya, zaman sekarang kita hidup di dua dunia.
Punya dua kepribadian di dua realita yang berbeda.
Dunia maya dan nyata.
Ya.
Di social media dan di kehidupan sehari-hari kita.
Di dunia maya, kita cenderung membentuk citra, menyajikan pribadi ideal sesuai dengan apa yang ingin kita perlihatkan pada dunia.
Di dunia nyata, kita tidak bisa 'memalsukan' sikap kita, orang lainlah yang menilai seperti apa kita.

Membentuk citra? Sesuatu yang positif? Atau negatif?

Menurut saya, selama tidak berpura-pura itu tidak apa-apa.
Bisa saja dengan membentuk citra, kita dapat mengubah kebiasaan buruk kita.
Bisa saja citra ideal yang kita bentuk terbawa hingga ke kehidupan sehari-hari kita, mengubah pola pikir dan sifat jelek kita.

Begitu pun dengan saya.
Namun, dua dunia saya bukan dunia maya dan dunia nyata.
Satu dunia kecil bernama keluarga, dan satu dunia luas bernama lingkungan pergaulan.
Saya adalah saya yang sebenarnya di depan keluarga, bersikap dan berpikir sesuka hati saya.
Namun, saya membentuk citra yang lain di depan siapa pun yang bukan keluarga, bersikap sesuai apa yang mereka ekspektasikan, dan apa yang saya ingin mereka nilai dari saya.
Tak jarang, mereka sering tertipu pada mata dan kesan pertama.
Ada yang menyangka saya extrovert dan ceria, ada pula yang menyangka saya intelek.
Padahal, saya yang sebenarnya, jauh dari penilaian mereka.
Tertutup, suram, dan punya pemikiran yang abstrak. Dan mungkin agak dangkal.

Namun, lagi-lagi membentuk citra ada baiknya.
Bisa meningkatkan ekspektasi orang lain tentang diri kita.
Kemudian menjadi motivasi kita untuk berubah, menjadi apa yang kita ingin dunia lihat tentang kita.

Asal jangan picik saja.
Membentuk citra hanya demi kepentingan pribadi semata.




Katanya, Saya.









Surga Kecil Saya

Saya adalah orang yang sederhana.
Mudah merasa bahagia dengan hal-hal kecil di sekitar saya.
Salah satunya, duduk baca buku atau sekedar menikmati pemandangan di hari yang cerah di beranda saya.
Mungkin bagi kebanyakan orang itu hal biasa.
Namun bagi saya itu adalah sepotong kecil surga.
Memberi rasa damai dan bahagia yang tak terkata.

Sederhana memang, tapi bukankah menjadi sederhana membuat kita mudah merasa bahagia?

Senin, 20 Januari 2014

Saat rindu menggantung di ujung lidah namun tak kunjung terucap juga,
cukup hati mengirim sebaris doa, dan Tuhan yang menyampaikannya.

Semoga kamu menerima pesan rindu dari saya.
Ada rasa tersipu yang sama. 
Degup jantung masih saja tak beraturan tiap kita berjumpa.
Dan aku masih saja kesulitan mencari kata-kata.
Rasanya seperti kembali ke kencan pertama.

Entahlah, mungkin ini rasanya:
Jatuh cinta berkali-kali pada orang yang sama.

Tentang saya, yang sedang membenci diri sendiri

Pagi.
Matahari masih saja sembunyi.
Di pojokan kasur, saya duduk sendiri.
Kemudian, saya berkaca.
Sosok perempuan kecil dengan raut wajah yang kecewa.
Ada dua lingkaran hitam bergelayut di bawah matanya.

Pinta saya, "Mari kita berhenti. Saya sudah lelah seperti ini."

Dia tertawa.

Lalu mencerca.
"Bicara begitu sudah berjuta-juta kali. Tapi nyatanya tetap seperti ini."


Ah.
Mengapa sulit sekali memperbaiki diri?


*Di suatu pagi, awal Januari dengan awan kelabu yang masih menyelimuti*